Entah sudah berapa lama aku mengatakannya. Bibirku yang berkata tuk lupakanmu namun hatiku tetap bersikeras menunggumu. Kau yang dulu ada di sisiku, menemaniku dalam setiap detik berlalu. Terlalu munafik bagiku bila terus membohongi hatiku untuk membencimu. Mustahil hasilnya! Dan nyatanya pun aku masih tetap menunggu. Kau yang telah tega memutuskan segala hal yang telah kita bangun. Kita rangkai dari awal. Kau menghancur-leburkan hatiku. Sulit bagiku melupakanmu. Kamu yang dulu mencintaiku, menemani aku. Tak ingatkah kau aku mencintaimu? Hingga kini pun aku masih mencintaimu. Sampai kapan? Aku pun tidak tau bagaimana aku masih bisa bertahan. Padahal sudah banyak yang menawar cinta yang bersedia menjadi pengganti. Namun hatiku sama sekali tak tertambat pada lain hati. Kau yang entah kini dimana. Kau yang sedang apa. Aku tak tahu! Hei,dengarkanlah! Aku disini terdiam menatap kepergianmu dengan pilu. Tak rela melihatmu meninggalkan aku. Meskipun engkau tak pernah tahu bagaimana aku menahan rasa pedihku saat kau tak lagi datang saat aku berteriak membutuhkanmu. Ya,kau tak peduli tepatnya! Meskipun kau tak pernah tahu bagaimana caranya aku tetap bertahan. Salah satunya dengan tersenyum. Bukan artinya aku bahagia memutuskan segalanya. Itu terjadi saat aku kembali memutar kotak kenangan yang hampir usang termakan waktu. Aku masih sering memutarnya. Karenanya aku masih bisa bersyukur telah dipertemukan denganmu. Dipertemukan kepada sebuah hubungan yang terlalu singkat bagiku. Meski begitu semua itu bagiku bermakna, mungkin walau hanya berlalu sesaat. Aku beruntung pernah memilikimu. Pernah hadir dalam mimpi dan terpanjat dalam do'a panjangmu. Tapi itu dulu, saat dia tak hadir. Saat kita sedang tak searah tak sejalan. Dia hadir dalam saat yang tidak tepat. Kau tergoda! keyakinanmu goyah karena hadirnya. Mungkin aku yang terlalu egois selalu mementingkan inginku dan terus beradu pendapat denganmu. Dan lagi-lagi dia hadir disaat hatimu gundah karenaku. Kau tergoda lagi. Mungkin aku yang terlalu bodoh membiarkanmu menangis sendirian dengan egoisku. Tapi kau juga tidak mengerti kan bagaimana sakitnya aku saat akhirnya kau lebih memilih dia yang baru kau kenal. Ingin ku tampar dia. Bukan karena apa. Dia yang telah menghancurkan mimpi-mimpi kita yang telah lama kita rajut. Mimpi-mimpi kita tak mungkin terajut kembali karena ada dia sebagai gunting yang telah merusaknya. Aku tak mengerti lagi, bagaimana rasanya. Sepertinya aku tlah mati rasa, sulit rasanya melupakan segalanya. Ada pukulan keras mengenai kepalaku mungkin otakku atau bahkan hatiku hingga tak bisa lagi mengingat tak bisa lagi merasakan. Dapatkah kau sebentar saja menengokku yang telah mati rasa ini? Kau memang masih bisa kulihat, bisa kurasakan hadirmu. Namun, hadirmu telah jauh dari luar jangkauanku. Meski hanya di seberang sana. Rasa-rasanya itu sudah jauh sekali. Mungkin karena tertutup oleh air mataku yang tak bisa kutahan lagi. Aku menangis, seharusnya aku tak menangis. Buat apa bila takkan bisa merubah yang telah terjadi. Hingga aku tersadar dan terus membayangkan,"seandainya dulu aku lebih bisa mengalah". Selalu itu yang terucap dalam setiap sesenggukan tangisku. Kau, sudah tak ada di sisiku. Sudah tak ada di setiap ku butuhkan sandaran. Bahkan kau tak ada lagi dalam pelukku melainkan ada di pelukannya setiap kau menitikkan air mata. Tapi aku tak melihat lagi kau menitikkan air mata seperti dulu. Mungkin ia lebih bisa membuatmu tertawa. Tak sepertiku yang egois yang hanya membuatmu menangis. Tapi terimakasih sudah memberiku sebuah pelukan cinta yang hangat saat aku bersedih. Sudah memberiku pelangi penuh warna yang membuat hatiku berwarna-warni. Sudah memberiku kesempatan untuk ada di hatimu. "Terimakasih telah mencintaiku dulu" , dan hanya do'a yang terus kupanjatkan untuk kebahagiaanmu. Dengan dia atau yang lain. Dan tentunya bukan denganku lagi. Dan kini kuputuskan untuk pergi, membuang segala kenangan dan membawa diri penuh penyesalan demi bahagiamu.
-- For My Old Love --
Tidak ada komentar:
Posting Komentar